Selamat Datang | Sugeng Rawuh | Wilujeng Sumping | Selamet Dheteng | Rahajeng Rauh | Salamaik Datang | Horas | Mejuah-Juah | Nakavamo | Slamate Iyoma | Slamate Illai | Pulih Rawuh | Maimo Lubat

Friday, October 22, 2010

Sumber Hukum dalam Prinsip-Prinsip Hukum Pidana

A. Sumber Hukum dalam Perspektif Hukum Pidana
Pada umumnya para pakar (termasuk di Indonesia) membedakan sumber hukum ke dalam kriteria Sumber hukum materiil; dan Sumber hukum formal. Menurut Sudikno Mertokusumo, Sumber Hukum Materiil adalah tempat dari mana materiil itu diambil. Sumber hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum, misalnya hubungan social, hubungan kekuatan politik, situasi social ekonomis, tradisi (pandangan keagamaan, kesusilaan), hasil penelitian ilmiah (kriminologi, lalulintas), perkembangan internasional dan keadaan geografis. 
Sedangkan Sumber Hukum Formal, merupakan tempat atau sumber dari mana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Hal ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum itu formal berlaku. Yang diakui umum sebagai sumber hukum formal ialah UU, perjanjian antar Negara, yurisprudensi dan kebiasaan. 


Perspektif hukum pidana, khususnya di Indonesia menyebutkan Pancasila sebagai sumber hukum  materiilnya. Pancasila merupakan factor/ landasan utama pembentukan hukum di Indonesia. Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia, dimana setiap peraturan perundang-undangan yang dibuat berlandaskan Pancasila. Dengan demikian, Pancasila merupakan factor utama yang melandasi setiap peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Sumber hukum formil dalam hukum pidana di Indonesia ada dua, yaitu sumber hukum tertulis dan terkodifikasi serta sumber hukum tertulis tidak terkodifikasi.
1.      Sumber hukum tertulis dan terkodifikasi
a.      Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
KUHP ini mempunyai nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) yang diberlakukan di Indonesia pertama kali dengan Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 3315 Oktober 1915 dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918. WvSNI merupakan turunan dari WvS negeri Belanda yang dibuat pada tahun 1881 dan diberlakukan di negara Belanda pada tahun 1886. Walaupun WvSNI notabene turunan dari WvS Belanda, namun pemerintah kolonial pada saat itu menerapkan asas konkordansi (penyesuaian) bagi pemberlakuan WvS di negara jajahannya. Beberapa pasal dihapuskan dan disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda atas wilayah Indonesia.
WvSNI berubah menjadi KUHP dan berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan dipertegas dengan Undang-undang Nomor 73 tahun 1958 (LN nomor 127 tahun 1958) tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia.
b.      Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau biasa disebut dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Peraturan yang menjadi dasar bagi pelaksanaan hukum acara pidana dalam lingkungan peradilan umum sebelum undang-undang ini berlaku adalah "Reglemen Indonesia yang dibaharui atau yang terkenal dengan nama "Het Herziene Inlandsch Reglement" atau H.I.R. (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44), yang berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951, seberapa mungkin harus diambil sebagai pedoman tentang acara perkara pidana sipil oleh semua pengadilan dan kejaksaan negeri dalam wilayah Republik Indonesia, kecuali atas beberapa perubahan dan tambahannya. Dengan Undang-undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951 itu dimaksudkan untuk mengadakan unifikasi hukum acara pidana, yang sebelumnya terdiri dari hukum acara pidana bagi landraad dan hukum acara pidana bagi raad van justitie.
Adanya dua macam hukum acara pidana itu, merupakan akibat semata dari perbedaan peradilan bagi golongan penduduk Bumiputera dan peradilan bagi golongan bangsa Eropa di Jaman Hindia Belanda yang masih tetap dipertahankan, walaupun Reglemen Indonesia yang lama (Staatsblad Tahun 1848 Nomor 16) telah diperbaharui dengan Reglemen Indonesia yang dibaharui (R.I.B.), karena tujuan dari pembaharuan itu bukanlah dimaksudkan untuk mencapai satu kesatuan hukum acara pidana, tetapi justeru ingin meningkatkan hukum acara pidana bagi raad van justitie.
Meskipun Undang-undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951 telah menetapkan bahwa hanya ada satu hukum acara pidana yang berlaku untuk seluruh Indonesia, yaitu R.I.B, akan tetapi ketentuan yang tercantum di dalamnya ternyata belum memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia sebagaimana wajarnya dimiliki oleh suatu negara hukum. Khususnya mengenai bantuan hukum di dalam pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum tidak diatur dalam R.I.B., sedangkan mengenai hak pemberian ganti kerugian juga tidak terdapat ketentuannya. 
Oleh karena itu demi pembangunan dalam bidang hukum dan sehubungan dengan hal sebagaimana telah dijelaskan di muka, maka "Het Herziene Inlandsch Reglement" (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44) berhubungan dengan dan Undang-undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 81) serta semua peraturan pelaksanaannya dan  ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya, sepanjang hal itu mengenai hukum acara pidana, perlu dicabut karena tidak sesuai dengan cita-cita hukum nasional dan diganti dengan undang-undang hukum acara pidana baru yang mempunyai ciri kondifikatif dan unifikatif berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau dikenal dengan KUHAP.
2.      Sumber hukum tertulis dan tidak terkodifikasi
a.       Undang-undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika
b.      Undang-undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika
c.       Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
d.      Undang-undang dan Peraturan-peraturan lain yang mengandung ketentuan pidana di dalamnya.
Selain dua sumber hukum tersebut di atas, di dalam teori hukum terdapat sumber hukum formil lainnya, yaitu yurisprudensi. Pengertian yurisprudensi di Negara-negara dengan system hukumn Common Law (Inggris atau Amerika) sedikit lebih luas, di mana yurisprudensi berarti ilmu hukum. Sedangkan pengertian yurisprudensi di Negara-negara Civil Law (termasuk Indonesia) hanya berarti putusan pengadilan. Adapun yurisprudensi yang kita maksudkan dengan putusan pengadilan, di Negara Anglo Saxon dinamakan preseden.
Sudikno Mertokusumo mengartikan yurisprudensi sebagai peradilan pada umumnya, yaitu pelaksanaan hukum dalam hal konkret terhadap tuntutan hak yang dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh suatu Negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapa pundengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan berwibawa. Walaupun demikian, Sudikno menerima bahwa di samping itu yurisprudensi dapat pula berarti ajaran hukum atau doktrin yang dimuat dalam putusan. Juga yurisprudensi dapat berarti putusan pengadilan. Yurisprudensi dalam arti sebagai putusan pengadilan dibedakan lagi dalam dua macam:
1.      Yurisprudensi (biasa), yaitu seluruh putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan pasti, yang terdiri dari: 1) Putusan perdamaian; 2) Putusan pengadilan negeri yang tidak di banding; 3) Putusan pengatilan tinggi yang tidak di kasasi; 4) Seluruh putusan Mahkamah Agung.
2.      Yurisprudensi tetap (vaste jurisprudentie), yaitu putusan hakim yang selalu diikuti oleh hakim lain dalam perkara sejenis.
Indonesia adalah Negara dengan system hukum Eropa Kontinental dimana yurisprudensi  diakui sebagai salah satu sumber hukum tapi tidak mengikat. Indonesia tidak mengenal asas binding of precedent dengan demikian, seorang hakim dapat memutus perkara dengan menggunakan pertimbangan sendiri, tetapi tidak melarang hakim untuk menggunakan putusan terdahulu sebagai acuan untuk mengambil keputusan terhadap perkara yang sedang diperiksa.

B. Prinsip-prinsip Hukum Umum dalam Perspektif Hukum Pidana
            Prinsip-prinsip hukum umum tersebut diartikan sebagai asas dalam hukum pidana. Hukum pidana sebagaimana cabang ilmu lain dalam pohon hukum memiliki asas atau prinsip-prinsip yang diakui secara umum. Prinsip-prinsip umum tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Asas Legalitas
Asas ini secara lengkap berbunyi Nullum delictum noella poena sine praevia lege poenali yang artinya tiada suatu perbuatan dapat dipidana tanpa kekuatan perundang-undangan yang mengancamnya sebagai perbuatan pidana. Di Indonesia asas ini secara tersirat di dalam ketentuan pasal 1 ayat 1 KUHP.
2.      Asas Geen Straf Zonder Schuld
Asas ini disebut juga sebagai asas tiada pidana tanpa kesalahan. Artinya adalah tiada seorangpun dapat dijatuhi pidana jika tidak ada kesalahan yang ia perbuat. KUHP mencoba menuangkan asas ini dalam pasal 44 juncto pasal 45.
3.      Asas Teritorial
Asas teritorial mengajarkan bahwa hukum pidana suatu negara berlaku di wilayah negara itu sendiri. Asas ini merupakan asas pokok dan dianggap asas yang paling tua karena dilandaskan pada kedaulatan negara. Memang menjadi keniscayaan dan logis jika suatu ketentuan hukum suatu negara berlaku di seluruh wilayah negara itu. Asas teritorial dianut oleh Indonesia dan disebutkan dalam Pasal 2 dan 3 KUHP. Dalam Pasal 2, yang menjadi patokan adalah wilayah dan tidak mempersoalkan siapa yang melakukan tindak pidana di wilayah itu. Artinya, siapapun, baik orang Indonesia maupun orang asing, yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah negara Indonesia maka diberlakukan hukum pidana Indonesia.
4.      Asas Personalitas Nasional Aktif
Asas personalitas bertumpu pada kewarganegaraan pelaku tindak pidana. Artinya, hukum pidana suatu negara mengikuti ke manapun warga negaranya. Dengan demikian, hukum pidana Indonesia akan selalu mengikuti warga Negara Indonesia ke mana pun ia berada. Dalam KUHP, asas ini diatur dalam Pasal 5 s.d. 7.
5.      Asas Perlindungan atau Asas Nasional Pasif
Asas perlindungan menentukan bahwa hukum pidana suatu negara berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang dilakukan di luar negeri, jika perbuatan tersebut melanggar kepentingan negara yang bersangkutan. Asas tersebut juga diberlakukan di Indonesia, sehingga hukum pidana Indonesia berlaku bagi tindak pidana yang menyerang kepentingan hukum negara Indonesia, baik yang dilakukan oleh warga negara Indonesia maupun bukan.
6.      Asas Universal
Asas ini diberlakukan demi menjaga kepentingan dunia/internasional, yaitu hukum pidana suatu negara dapat diberlakukan terhadap warga negaranya atau bukan, di wilayah negaranya atau di luar negeri. Di sini, hukum pidana diberlakukan melampaui batas kewilayahan dan personalitas. Siapapun dan di manapun tindak pidana dilakukan, hukum pidana Indonesia dapat diterapkan.
Beberapa kejahatan yang dapat diberlakukan hukum pidana Indonesia berdasarkan asas universal adalah:
  1. Kejahatan mata uang yang dikeluarkan oleh negara tertentu (Pasal 4 sub ke-2 KUHP) yang didasarkan pada Konvensi Jeneva 1929.
  2. Kejahatan perampokan/ pembajakan di laut/ udara (Pasal 4 sub 4 KUHP yang diperbaharui dengan UU Nomor 4 Tahun 1976 tentang Kejahatan Penerbangan) yang didasarkan pada Deklarasi Paris 1858, Konvensi Tokyo 1963, Konvensi The Hague 1970, dan Konvensi Montreal 1971.
Prinsip-prinsip tersebut di atas merupakan prinsip-prinsip umum yang tidak hanya diakui di Indonesia, melainkan di Negara-negara di dunia. Perbedaannya terletak dalam hal pengaturannya. Indonesia secara tersurat maupun tersirat mencantumkan prinsip-prinsip umum tersebut di dalam KUHP, akan tetapi beberapa Negara di dunia tidak mencantumkan prinsip tersebut di dalam KUHP melainkan hidup sebagai prinsip yang mendasari KUHP atau peraturan-peraturan di Negara tersebut.

0 komentar:

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes