Selamat Datang | Sugeng Rawuh | Wilujeng Sumping | Selamet Dheteng | Rahajeng Rauh | Salamaik Datang | Horas | Mejuah-Juah | Nakavamo | Slamate Iyoma | Slamate Illai | Pulih Rawuh | Maimo Lubat

Friday, October 22, 2010

Peristiwa Pidana dan Unsur-Unsurnya

Istilah Peristiwa Pidana 
Peristiwa pidana dalam bahasa Belanda secara umum  digunakan dalam 2 (dua) istilah, strafbaar feit dan delict. Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, maka istilah strafbaar feit maupun delict memiliki banyak isitilah, antara lain adalah: Perbuatan yang dapat dihukum, tercantum dalam pasal 3 LN 1951 nomor 78; Tindak Pidana, istilah ini dipakai dalam ENGELBRECHT, Kitab-kitab Undang-undang dan peraturan-peraturan serta Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia; Perbuatan yang boleh dihukum, istilah yang dipergunakan oleh KARNI dan VAN SCHRAVENDIJK; Pelanggaran pidana, istilah yang dipakai oleh TIRTAADMADJA; Perbuatan pidana, istilah yang dipakai oleh MOELJATNO; Peristiwa pidana, istilah yang dipakai oleh E. UTRECHT.

Istilah peristiwa pidana memiliki arti, bahwa “peristiwa” meliputi suatu perbuatan (handelen atau doen) atau suatu melalaikan (verzuim, niet doen  atau nalaten) maupun akibatnya (akibat dari perbuatan atau melalaikan sesuatu). Peristiwa pidana adalah suatu peristiwa hukum (rechtsfeit) yaitu suatu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum.
Keseluruhan istilah tersebut di atas mengacu pada pemakaian istilah strafbaar feit dan delict. Namun, VAN DER HOEVEN menolak penggunaan istilah strafbaar feit, karena bukan peristiwanya yang dihukum, melainkan pelaku dari peristiwa tersebut, sehingga Van der Hoeven menggunakan istilah Strafwaardig feit.
Definisi Peristiwa Pidana
Berbicara mengenai peristiwa pidana, banyak penulis memberikan rumusan tentang peristiwa pidana, sama banyaknya seperti penggunaan istilah dalam peristiwa pidana. Beberapa definisi tersebut adalah sebagai berikut:
Menurut VOS, peristiwa pidana adalah suatu kelakuan manusia (menselijke gedraging) yang oleh peraturan perundang-undangan diberi hukuman;
Menurut POMPE, peristiwa pidana dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu sudut pandang teoritis dan sudut pandang hukum positif. Menurut sudut pandang teoritis, peristiwa pidana adalah suatu pelanggaran kaidah (pelanggaran tata hukum, normovertreding) yang terjadi karena kesalahan pelanggar, dan yang harus diberi hukuman untuk dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. Secara teoritis, peristiwa pidana memiliki unsur-unsur:
1. Suatu perbuatan melawan hukum (onrechmatig atau wederrechtelijk);
2. Suatu pebuatan yang dilakukan karena pelanggar bersalah (aan schuld (van de overtreder) te wijten);
3. Suatu perbuatan yang dapat dihukum (strafbaar).
Menurut sudut pandang hukum positif, peristiwa pidana itu adalah suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan sebagai suatu peristiwa yang menyebabkan dijatuhkan hukuman.
Menurut VAN HATTUM, peristiwa pidana adalah suatu peristiwa yang menyebabkan seseorang mendapat hukuman atau dapat dihukum. Berdasarkan definisi tersebut, unsur peristiwa dan pembuat peristiwa sama sekali tidak dapat dipisahkan. Hal ini mengisyaratkan, bahwa sebelum menjatuhkan suatu putusan bahwa peristiwa tersebut adalah suatu peristiwa yang melanggar hukum, maka perlu dilihat terlebih dahulu kondisi dari pelaku peristiwa tersebut, baik kondisi psikis maupun psikologis;
Menurut SIMONS, peristiwa pidana adalah suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seseorang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggungjawab atas perbuatannya.
Menurut E. UTRECHT, peristiwa pidana hendaknya dibedakan secara definitive antara pengertian dalam hukum pidana dan kriminologi. Persitiwa pidana dalam hukum pidana dibagi dalam kejahatan dan pelanggaran.
Unsur – unsur Peristiwa Pidana
Rumusan peristiwa pidana sebagaimana disinggung dalam sub bagian di atas, secara umum peristiwa pidana adalah suatu perbuatan manusia yang dapat dipertanggungjawabkan karena suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Dengan demikian seseorang patut atau tidak mendapat suatu hukuman karena perbuatannya bergantung pada dua hal, yaitu harus ada suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan seorang yang melakukan perbuatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan.
Suatu peristiwa pidana harus memuat unsur perbuatan yang melawan hukum (element van wederrechtelijk) dan oleh sebab itu dapat dijatuhkan hukuman (strafbaarheid can het feit) serta unsur kesalahan pembuat (dader) yang bertanggungjawab atas perbuatan tersebut (element van schuld).
a. Unsur Melawan Hukum (wederrechtelijkeheid)
Beberapa definisi tentang peristiwa pidana antara lain oleh SIMONS (yang diikuti oleh JONKERS) dan VOS menggambarkan peristiwa pidana sebagai suatu kelakukan manusia yang melawan hukum (wederrechtelijke) atau bertentangan dengan hukum (onrechmatig) dan oleh sebab itu harus dijatuhkan hukuman.
Mengenai unsur melawan hukum dalam peristiwa pidana terdapat 2 (dua) pendapat besar, yaitu yang menyatakan unsur melawan hukum sebagai anasir tetap (constant in permanent) tiap peristiwa pidana yang artinya suatu persitiwa pidana tidak cukup hanya perbuatan yang sesuai dengan rumusan delik namun harus suatu perbuatan yang melawan hukum (HAZEWINGKEL – SURINGA). Pendapat kedua menyatakan, unsur melawan hukum sebagai suatu anasir konstitutif (constitutief element) tiap peristiwa pidana yang artinya unsur melawan hukum adalah unsur mutlak dari suatu peristiwa pidana (VAN HAMEL).
Dalam teori hukum pidana Jerman permulaan abad 20, diterima suatu pendapat bahwa yang menjadi syarat untuk adanya suatu peristiwa pidana adalah suatu perbuatan sesuai dengan rumusan delik (omschrijving) atau disebut dengan Tatbestandmassigheid. Menurut RUTGERS, unsur melawan hukum tersebut termasuk dalam Tatbestandmassigheid, dan unsur konstitutif dalam peristiwa pidana menurut RUTGERS adalah Tatbestandmassige onrechtmatigheid serta unsur kesalahan.
Dalam perkembangannya, Tatbestandmassigheid mulai ditinggalkan. Pada tahun 1930 dalam ilmu hukum pidana Jerman diterima sebuah teori baru yang disebut Wesenschau. Menurut ajaran Wesenschau, VAN BEMMELEN menerjemahkannya sebagai berikut, bahwa peristiwa pidana tidak hanya sebagai suatu perbuatan yang sesuai dengan rumusan delik (delictomschrijving) dalam ketentuan pidana yang bersangkutan akan tetapi perbuatan tersebut haruslah suatu perbuatan yang sesuai dengan makna inti dari ketentuan pidana yang bersangkutan (dem wesen nach). Oleh VOS ajaran Wesenschau disebut sebagai idée materielle wederrechtelijkheid (ajaran melawan hukum material).
POMPE memberikan suatu pemikiran, bahwa unsur melawan hukum bukanlah suatu unsur mutlak dalam suatu peristiwa pidana. Pompe melihat unsur melawan hukum sebagai unsur peristiwa pidana apabila unsur melawan hukum tersebut secara tegas dirumuskan dalam undang-undang. Namun Pompe masih mengakui adanya unsur yang menghapuskan unsur melawan hukum sehingga tidak dapat dijatuhkan suatu hukuman. Pendapat ini oleh SCHEPPER ditentang secara tegas. Schepper menyatakan, bahwa tidak disebutkannya unsur melawan hukum dalam suatu ketentuan pidana tidak berarti unsur melawan hukum tersebut bukanlah unsur peristiwa pidana yang bersangkutan.
Perdebatan mengenai unsur melawan hukum sebagai unsur mutlak atau bukan dalam unsur peristiwa pidana membawa suatu pemikiran baru tentang suatu ide yang disebut dengan materielle wederrechtelijkheid (ajaran melawan hukum material). VOS sebagai tokoh yang memandang unsur melawan hukum sebagai unsur konsitutif atau mutlak dari setiap peristiwa pidana memperluas definisi hukum dalam unsur melawan hukum itu sendiri. Hukum disini tidak terbatas pada hukum tertulis melainkan  juga hukum yang tidak tertulis atau asas-asas hukum umum (algemene beginselen van recht). Jadi menurut VOS, melawan hukum tidak hanya formelle wederrechtelijkheid (melawan hukum positif tertulis) tetapi juga materielle wederrechtelijkheid (melawan asas-asas hukum umum/ hukum tidak tertulis).
Ajaran VOS tersebut banyak mendapat tentangan dari para penulis klasik sendiri seperti SIMONS, ZEVENBERGEN dan VAN HATTUM. VAN HATTUM mengemukakan, bahwa sejarah penetapan (wetshistorie) dari Wetboek van Strafrecht tidak terdapat bukti bahwa wederrechtelijk tidak terbatas pada hukum tertulis, yang artinya secara luas termasuk diantaranya hukum tidak tertulis. Sebaliknya, POMPE dengan penafsiran yang sama memberikan pendapat yang berlainan dengan VAN HATTUM. Menurut POMPE, arti wederrechtelijk yang luas sesuai dengan arti onrechmatig yang mana menurut Hoge Raad tertanggal 31 Januari 1919 perbuatan yang tergolong bertentangan dengan asas-asas hukum (onrechtmatige daad) adalah membuat sesuatu atau tidak membuat sesuatu yang melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum, bertentangan dengan asas-asas pergaulan kemasyarakatan mengenai penghormatan diri orang lain atau barang orang lain. Pendapat Pompe didukung oleh VAN BEMMELEN yang menyatakan, wederrechtelijk dalam hukum pidana diartikan sama dengan onrechtmatig dalam pasal 1365 BW.
Namun, POMPE tetap berpendapat, bahwa unsur melawan hukum hukanlah unsur mutlak dalam setiap peristiwa pidana walaupun POMPE mengakui unsur melawan hukum materiil. Pendapat mana bertentangan dengan VOS dan JONKERS yang menyatakan unsur melawan hukum merupakan unsur mutlak dari setiap peristiwa pidana, walaupun undang-undang tidak secara tegas menyatakan itu sebagai unsur peristiwa pidana. Pendapat VOS ini kemudian berkembang menjadi unsur melawan hukum secara diam-diam.
b. Unsur Kesalahan (Schuld)
Seperti halnya unsur melawan hukum, pengarang klasik seperti VAN HAMEL, SIMONS, ZEVENBERGEN dan SCHEPPER memandang unsur kesalahan sebagai unsur konstitutif dalam setiap peristiwa pidana.
Dalam hukum pidana, yang dimaksud dengan kesalahan atau pertanggungjawaban adalah suatu pertanggungjawaban menurut hukum pidana (verantwoordelijkheid volgens het strafrecht). Menurut etika, setiap orang bertanggungjawab atas segala perbuatannya, tetapi dalam hukum pidana, hanya perbuatan-perbuatan yang dapat menyebabkan hal hakim menjatuhkan hukuman dapat dipertanggungjawabkan kepada pembuat. Pertanggungjawaban itu adalah pertanggungjawaban pidana.
Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana terdiri atas 3 unsur:
1. Toerekeningsvatbaarheid dari pembuat;
Menurut VAN HAMEL, Toerekeningsvatbaarheid adalah suatu keadaan normal psikis dan kemahiran yang membawa tiga macam kemampuan (kecakapan), yaitu mampu untuk dapat mengerti makna dan akibat sungguh-sungguh dari perbuatannya sendiri; mampu untuk menyadari bahwa perbuatan itu bertentangan dengan ketertiban masyarakat dan mampu untuk menentukan kehendak berbuat.
Menurut POMPE, Toerekeningsvatbaarheid adalah suatu kemampuan berpikir pada pembuat yang memungkinkan pembuat menguasai pikirannya dan menentukan kehendaknya dan oleh sebab itu pembuat dapat mengerti makna dan akibat perbuatannya sehingga pembuat dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan pendapatnya. Intinya bahwa pelaku mampu menyadari arti perbuatannya dan sesuai dengan kesadarannya tentang arti perbuatannya dapat menentukan kehendaknya. Pompe tidak membatasi pada suatu keadaan normal sebagaimana dikemukakan oleh Van Hamel maupun Von Liszt.
2. Suatu sikap psikis pembuat dengan perbuatannya, yakni unsur sengaja dan culpa;
Menurut Teori Kehendak (wilstheorie) sebagaimana dikemukakan oleh VON HIPPEL, sengaja adalah kehendak membuat suatu tindakan dan kehendak menimbulkan suatu akibat karena tindakan itu. Sedangkan menurut Teori Membayangkan (voorstellingstheorie) yang dikemukakan oleh FRANK, adalah sengaja apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu perbuatan dibayangkan dengan maksud perbuatan itu dan oleh sebab itu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah dibuat.
Dalam ilmu hukum pidana dibedakan antara 3 (tiga) macam sengaja, yaitu:
a. Sengaja sebagai maksud (opzet als oogmerk);
Menurut VOS, sengaja sebagai maksud adalah apabila pembuat (dader) menghendaki akibat perbuatannya. Dengan kata lain, seandainya pembuat sebelumnya sudah mengetahui bahwa akibat perbuatannya tidak akan terjadi, maka sudah tentu ia takkan pernah melakukan perbuatannya.
b. Sengaja dengan sadar kepastian (opzet bij zekerheids-bewustzinj)
Kesengajaan semacam ini ada apabila si pelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.
c. Sengaja dengan sadar kemungkinan (opzet bij mogelijkheids-bewusstzijn)
Berbeda halnya dengan definisi kesengajaan sebagai maksud maupun kesengajaan dengan sadar kepastian, kesadaran dengan sadar kemungkinan memiliki banyak pendapat. VOS menyatakan adanya kesulitan untuk mengukur jiwa pembuat persitiwa masing-masing sehingga batasan dalam kesengajaan ini dapat ditentukan secara kasuistis. POMPE mengatakan, bahwa dengan adanya sadar kemungkinan maka tidak ada kesengajaan, yang ada adalah culpa atau kurang hati-hati.
Berbeda dengan sengaja, culpa memiliki arti kesalahan pada umumnya, tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku peristiwa pidana yang tidak seberat kesengajaan. VOS memberikan criteria unsur-unsur culpa, antara lain:
a. Pembuat dapat menduga terjadinya akibat kelakuannya (voorzienbaarheid van het gevolg voor de dader);
b. Pembuat kurang hati-hati (onvoorzichtigheid)
Menurut POMPE, unsur-unsur culpa adalah sebagai berikut:
a. Pembuat dapat menduga (kunnen verwachten) terjadinya akibat perbuatannya;
b. Pembuat melihat adanya kemungkinan (voorziender mogelijkheid) akan terjadinya akibat perbuatannya;
c. Pembuat sebelumnya melihat adanya kemungkinan (kunnen voorzien der mogelijkheid) akan terjadinya akibat perbuatannya.
3.  Tidak ada alasan-alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana pembuat (toerekenbaarheid).
KUHPidana mengenal dua macam ontoerekeningsvatbaarheid, yaitu karena gebrekkige ontwikkeling of ziekelijke storing implementasinya dalam pasal 44 KUHPidana dan ontoerekeningsvatbaarheid karena minderjarigheid (belum dewasa) impelementasi dalam pasal 45.
Ontoerekeningsvatbaarheid karena gebrekkige ontwikkeling of ziekelijke storing sesuai pasal 44 KUHPidana adalah suatu keadaan kegilaan yang dapat disebabkan sudah ada sejak lahir atau yang disebabkan kemudian karena suatu penyakit jiwa. Keadaan tersebut harus terus menerus atau permanen.

0 komentar:

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes