Selamat Datang | Sugeng Rawuh | Wilujeng Sumping | Selamet Dheteng | Rahajeng Rauh | Salamaik Datang | Horas | Mejuah-Juah | Nakavamo | Slamate Iyoma | Slamate Illai | Pulih Rawuh | Maimo Lubat

Wednesday, October 26, 2011

Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana

Alternative penyelesaian perkara, umumnya disebut dengan Alternative Dispute Resolution atau alternative penyelesaian sengketa, sejauh ini banyak dikenal pada ranah hukum privat atau hukum perdata. Apabila dikaji lebih lanjut, alternative penyelesaian sengketa ini tidak hanya dapat dilakukan di ranah hukum perdata, melainkan juga di ranah hukum pidana, walaupun alternative penyelesaian sengketa dalam hukum pidana dapat dilakukan dengan beberapa kondisi yang menyertainya.
Ide dasar dari adanya alternative penyelesaian perkara dalam perkara pidana adalah dikaitkan dengan sifat hukum pidana itu sendiri. Hukum pidana bersifat Ultimum Remedium, Van Bemmelen mengajukan pendapat, bahwa hukum pidana itu merupakan Ultimum Remedium (obat terakhir). Sedapat mungkin dibatasi, artinya kalau bagian lain dari hukum itu tidak cukup untuk menegaskan norma-norma yang diakui oleh hukum, barulah hukum pidana diterapkan. Ancaman pidana harus tetap merupakan suatu Ultimum Remedium. Ini tidak berarti bahwa ancaman pidana akan ditiadakan, tetapi selalu harus mempertimbangkan untung ruginya ancaman pidana itu, dan harus menjaga agar jangan sampai obat yang diberikan lebih jahat daripada penyakitnya.[1]
Sifat hukum pidana sebagai upaya terakhir dalam menegakkan hukum tentunya dapat dimaknai, bahwa sebelum pidana dijatuhkan, maka sewajarnya ada upaya-upaya lainnya yang harus dilakukan, dan upaya lainnya tersebut dapat diartikan salah satunya adalah alternative penyelesaian perkara.
Jika melihat dari sejarahnya, upaya alternative penyelesaian perkara pidana ini sudah jauh diberlakukan sebelum Indonesia merdeka, tepatnya pada masa kolonial Belanda. Proses yang dilakukan dikenal dengan Afdoening Buiten Process (Penyelesaian perkara di luar pengadilan). Di dalam KUHPidana, penyelesaian di luar pengadilan diatur di dalam Pasal 82 KUHPidana yang disebut dengan Afkoop, yang menyatakan, bahwa kewenangan menuntut pelanggaran yang diancam dengan pidana denda saja menjadi hapus, kalau dengan sukarela dibayar maksimum denda dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan kalau penuntutan telah dimulai. Oleh Jan Remmelink, Afkoop tersebut disebut juga dengan compositie.[2] Dengan demikian, jelas kiranya, bahwa alternatif penyelesaian perkara pidana dari sudut pandang sejarah telah diatur di dalam KUHPidana, namun hal tersebut dibatasi untuk tindak pidana tertentu saja.
Pada era KUHAP, keberadaan penyelesaian perkara di luar pengadilan yang dilakukan oleh Penuntut Umum jarang dilakukan, adapun tiga bentuk untuk menyelesaikan perkara di luar pengadilan adalah penghentian penuntutan, penutupan perkara demi hukum dan pengesampingan perkara yang dilakukan oleh Jaksa Agung. Walaupun tidak memiliki arti pasti menyelesaikan perkara di luar pengadilan, namun perkara tersebut tidak sampai ke pengadilan dengan beberapa keadaan khusus.
Di tingkat penyidikan, dengan adanya Surat Kapolri Nomor: B/ 3022/ XII/ 2009/ Sdeops tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR) menjadi pedoman bagi penyidik untuk memberlakukan alternative penyelesaian perkara sebelum dilakukan proses pidana. Menurut Surat Kapolri tersebut, penegakan hukum terkait dengan penanganan perkara pidana yang mempunyai kerugian materi/ ekonomi sangat kecil, penyelesaiannya dapat diarahkan melalui konsep ADR. Penyelesaian perkara melalui konsep ADR tersebut harus disepakati oleh pihak-pihak yang berperkara, namun apabila tidak terjadi kesepakatan baru diselesaikan sesuai prosedur hukum yang berlaku. Namun, walaupun Surat Kapolri tersebut mengatur tentang konsep ADR sebagai alternative penyelesaian perkara pidana, namun tidak dijelaskan perkara apa sajakah yang dapat diterapkan konsep ADR tersebut.
Permasalahan ini sebetulnya terjawab, bahkan sebelum Surat Kapolri tersebut ada, yaitu dalam Rancangan Undang-Undang KUHAP tahun 2008. Pasal 42 ayat (2) RUU KUHAP 2008 menyebutkan, bahwa penuntut umum berwenang demi kepentingan umum dan/ atau dengan alasan tertentu menghentikan penuntutan baik dengan syarat maupun tanpa syarat. Dilanjutkan dengan ketentuan Pasal 42 ayat (3) RUU KUHAP 2008, yang menyebutkan, bahwa kewenangan untuk menghentikan penuntutan dengan maupun tanpa syarat tersebut dapat dilakukan apabila:
a.       Tindak pidana yang dilakukan terdakwa ringan;
b.      Tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun penjara;
c.       Tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda;
d.      Umur terdakwa pada waktu melakukan tindak pidana di atas 70 (tujuh puluh) tahun;
e.      Dan/ atau kerugian sudah diganti.
Ketentuan dalam Pasal 42 RUU KUHAP 2008 ini semakin menegaskan adanya alternative penyelesaian perkara dalam perkara pidana di masa yang akan datang untuk tindak pidana tertentu (sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 42 RUU KUHAP 2008).
Dapat disimpulkan, bahwa dari segi sejarah, berlakunya saat ini sampai dengan pemberlakuan di masa yang akan datang, alternative penyelesaian perkara dalam perkara pidana ini merupakan hal yang penting untuk dilakukan terlebih jika dikaitkan dengan sifat hukum pidana sebagai upaya terakhir. Alternative penyelesaian perkara dalam perkara pidana ini seringnya disebut sebagai bentuk peradilan restorative. Konsep peradilan restorative tidak memfokuskan diri pada kesalahan yang telah lalu, tetapi bagaimana memecahkan masalah tanggungjawab dan kewajiban pada masa depan dari pelaku. Model penjeraan diganti dengan rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utama.
Penyelesaian perkara di luar persidangan dengan konsep peradilan restorative ini setidaknya diharapkan membawa dua perubahan, diantaranya:
1.       Memulihkan kondisi masyarakat dan memaafkan terdakwa;
Di dalam Pasal 54 ayat (1) RUU KUHPidana 2008, disebutkan, bahwa pemidanaan bertujuan untuk:
a.       mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
b.      memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
c.       menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
d.      membebaskan rasa bersalah pada terpidana; dan
e.      memaafkan terpidana.
Dengan sifat hukum pidana sebagai ultimum remedium, maka pemidanaan diupayakan sebagai cara terakhir selama ada cara lain yang dipergunakan dan cara tersebut dapat mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) RUU KUHPidana 2008 tersebut. Adanya penyelesaian perkara di luar persidangan tentunya akan menyelesaikan konflik yang terjadi akibat tindak pidana tersebut karena ketika kedua pihak yaitu pelaku dan korban telah berdamai maka dengan sendirinya akan membebaskan rasa bersalah pada terpidana karena dari pihak korban telah memaafkan terpidana. Rasa damai dalam masyarakat dapat tercapai dan dikembalikan dalam kondisi semula seperti pada saat sebelum terjadinya tindak pidana.
2.       Mengurangi permasalahan lembaga pemasyarakatan.
Berdasarkan data dari Direktorat Jendral Pemasyarakatan, jumlah penghuni Lembaga Pemasyarakatan, baik Tahanan Dewasa, Tahanan Anak, Narapidana maupun Anak Didik dari tahun ke tahun mengalami lonjakan yang signifikan, misalnya tahun 2005 jumlah penghuni Lembaga Pemasyarakatan 92.497 orang dengan kapasitas hunian 76.550 orang. Tahun 2006 jumlah penghuni 102.898 orang dengan kapasitas 76.550 orang. Tahun 2007 jumlah penghuni 115.987 orang dengan kapasitas hunian 76.550 orang dan tahun 2008 jumlah penghuni 119.218 orang dengan kapasitas hunian 76.550 orang.[3]
Dengan adanya penyelesaian perkara di luar persidangan melalui alternative penyelesaian perkara dalam perkara pidana tentunya akan mengurangi jumlah penghuni pemasyarakatan.

Daftar Referensi
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana: Edisi Revisi 2008, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2008
Jan Remmelink, diterjemahkan oleh Tristam Pascal Moeliono, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003

Rancangan Undang-Undang
RUU KUHAP 2008
RUU KUHPidana 2008

Sumber Lainnya
Statistik Pemasyarakatan, Prosentase Rata-Rata Pertahun Jumlah Penghuni (Tahanan, Narapidana dan Anak Didik) Diukur dengan Kapasitas Lapas/ Rutan, dikutip dari http://www.ditjenpas.go.id/?option=com_statistik
Surat KAPOLRI No. Pol: B/ 3022/ XII/ 2009/ SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR)


[1] Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana: Edisi Revisi 2008, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 10
[2] Jan Remmelink, diterjemahkan oleh Tristam Pascal Moeliono, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm. 443.
[3] Lihat Statistik Pemasyarakatan, Prosentase Rata-Rata Pertahun Jumlah Penghuni (Tahanan, Narapidana dan Anak Didik) Diukur dengan Kapasitas Lapas/ Rutan, dikutip dari http://www.ditjenpas.go.id/?option=com_statistik  

0 komentar:

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes