Selamat Datang | Sugeng Rawuh | Wilujeng Sumping | Selamet Dheteng | Rahajeng Rauh | Salamaik Datang | Horas | Mejuah-Juah | Nakavamo | Slamate Iyoma | Slamate Illai | Pulih Rawuh | Maimo Lubat

Wednesday, June 15, 2011

Ketidakteraturan dalam Keteraturan Sistem Peradilan Pidana

Dalam hal keteraturan sistem, sebetulnya Indonesia boleh berbangga karena memiliki sistem yang sederhana terkait dengan sistem peradilan pidana. Hal ini tentu menjadi satu nilai lebih dan modal yang cukup berarti dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Namun, seperti halnya diungkapkan oleh Soerjono Soekanto, bahwa penegakan hukum tidak hanya dipengaruhi oleh satu faktor dominan melebihi faktor yang lain, penegakan hukum dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Dimana masing-masing faktor tersebut harus secara berimbang berjalan bersama-sama secara simultan. Selain faktor sistem, faktor lain yang mempengaruhi penegakan hukum adalah faktor hukum itu sendiri; faktor penegak hukum; faktor masyarakat dan faktor budaya hukum. (Soerjono Soekanto, 2007: 8)
Sistem peradilan pidana Indonesia merupakan prosedur yang teratur serta diharuskan memiliki keteraturan dalam prosesnya demi mewujudkan tujuan utamanya, yaitu penegakan hukum. Namun di dalam keteraturan tersebut terdapat ketidakteraturan, ketidakteraturan yang disponsori oleh komponen penegak hukum maupun ketidakteraturan yang disebabkan oleh pihak lain di luar komponen sistem peradilan pidana Indonesia.
Apakah sistem peradilan pidana Indonesia sudah masuk pada era chaos, era ketidakteraturan? Era ketidakpercayaan yang tinggi dari masyarakat maupun penegak hukum itu sendiri sehingga muncul lembaga pengawas-lembaga pengawas yang jumlahnya melebihi lembaga yang diawasi? Orang-orang Yunani kuno sejak dahulu beranggapan, bahwa keteratuan muncul dari ketidakteraturan. (Anthon F. Susanto, 2004: 77). Jika diaplikasikan dalam kehidupan sistem peradilan pidana Indonesia saat ini, apakah pendapat Yunani kuno tersebut masih relevan, mengingat ketidakteraturan yang ada dalam sistem peradilan pidana Indonesia justru berawal dari sebuah sistem yang teratur. Artinya, ketidakteraturan tersebut muncul dalam keteraturan sistem peradilan pidana Indonesia.
Sejarah mencatat, sistem peradilan pidana Indonesia telah mengalami evolusi yang panjang, mulai dari masa kolonial, kemerdekaan sampai saat ini. Indonesia telah mengambil langkah yang patut dipuji ketika pada tahun 1981 telah berhasil menciptakan suatu undang-undang hukum acara pidana nasional yang merupakan landasan berlakunya sistem peradilan pidana di Indonesia. Sejarah yang panjang dalam sistem peradilan pidana Indonesia telah menciptakan suatu sistem yang teratur, memiliki ciri bangsa Indonesia dan jelas berbeda dari pendahulunya, yaitu sistem peradilan pidana pada masa kolonial (walaupun beberapa diantaranya diadopsi sampai saat ini).
Untuk mencapai tujuan utama dari sistem peradilan pidana, yaitu penegakan hukum, pertanyaan mendasarnya adalah, darimana  dimulainya runutan sistem tersebut untuk mencapai tujuan menegakkan hukum. Ibarat membangun sebuah bangunan, seperti apakah dan berupa apakah pondasi itu dibangun, apakah substansi hukum, struktur hukum atau budaya hukum? Pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab, tapi harus ada jawabannya. Dan jawaban saya adalah budaya hukum. Seperti dikatakan Cicero, “Omnium rerum principia parva sunt”, bahwa hal yang besar selalu dimulai dari hal yang kecil, maka untuk mencapai tujuan bersama, maka harus dimulai secara sendiri-sendiri dari diri sendiri, bukan secara bersama-sama. Budaya dan kebudayaan diciptakan oleh manusia. Segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki masyarakat tersebut, dan kebudayaan akan turun temurun dari generasi ke generasi.
Kebudayaan berasal dari bahasa Sansakerta, Buddhayah yang artinya budi atau akal, sehingga kebudayaan diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal. (Soerjono Soekanto, 2000: 188) Jika berbicara tentang kebudayaan, dilihat dari artinya tentu selalu berkaitan dengan hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Tidak ada hal yang buruk merupakan hasil karya, rasa maupun cipta masyarakat. Hal yang buruk dan turun temurun bukanlah budaya, melainkan penyakit. Penyakit menular yang harus segera dicari obatnya.
Ketidakteraturan baik yang tercipta maupun diciptakan dalam keteraturan sistem peradilan pidana Indonesia merupakan penyakit, penyakit mendasar dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Apakah hanya ini penyakitnya? Tentu tidak, penyakit yang konon disebut “budaya” oleh bangsa kita ini menciptakan substansi hukum dan struktur hukum yang sakit. Sehingga terjadi ketidakteraturan dalam keteraturan sistem.
Bagaimana tidak, penyakit dalam budaya hukum (bukan budaya hukum yang buruk, karena pada dasarnya tidak ada budaya yang buruk) akan menciptakan manusia-manusia yang berpenyakit dalam budaya hukum. Manusia yang berpenyakit dalam budaya hukum tersebut memiliki kekuasaan, memiliki pengaruh dan duduk dalam posisi untuk menciptakan substansi hukum yang buruk. Bagaimana mungkin manusia yang memiliki penyakit dalam budaya hukum tersebut memperoleh posisi yang menentukan substansi hukum? Karena mereka dipilih oleh manusia lainnya yang juga memiliki penyakit dalam budaya hukum. Sehingga manusia yang memiliki penyakit dalam budaya hukum memilih manusia lainnya yang memiliki penyakit yang sama untuk menciptkan substansi hukum yang mengatur mereka. Apakah aturan yang diciptakan tersebut berupa obat untuk menyembuhkan penyakit mereka? sejatinya iya, tetapi kemudian aturan tersebut dijalankan oleh struktur yang berpenyakit pula. Sehingga obat yang diberikan telah terkontaminasi dengan penyakit yang sama.
Sistem yang sudah ada terkontaminasi oleh banyak hal. Sistem yang teratur telah digeser oleh ketidakteraturan, baik yang diciptakan oleh komponen penegak hukum maupun di luar komponen penegak hukum. Sedemikian kompleksnya ketidakteraturan dalam keteraturan sistem peradilan pidana membawa sistem peradilan pidana pada kondisi (pantas dikatakan) chaos.
Ketidakteraturan dalam keteraturan sistem peradilan pidana (pantas dikatakan) chaos. James Gleick menyatakan, bahwa Chaos adalah sesuatu yang ada dimana-mana, satu situasi ketidakteraturan atau kekacauan yang tidak dapat diprediksi polanya. (Anthon F. Susanto, 2004: 78). Ketidakteraturan dalam sistem peradilan pidana tidak dapat diprediksi polanya. Siapa yang dapat mengira, untuk menyelesaikan perkara Bibit – Chandra membutuhkan Tim delapan yang dibentuk langsung oleh Presiden untuk menyelidiki perkara tersebut, dan memberikan rekomendasi bagi komponen sistem peradilan pidana? siapa juga yang dapat memprediksi bahwa seorang tahanan bisa bebas keluar masuk rumah tahanan dengan membayar sipir penjara? Atau siapa yang bisa tega menyaksikan seorang yang hanya mencuri biji kapas harus diperiksa perkara pidana, sedangkan pengedar narkoba diputus bebas oleh Pengadilan Negeri? Tidak teratur dan tidak dapat diprediksi.
Ketidakteraturan tersebut tercipta karena penyakit dalam budaya hukum, dan terkadang ketidakteraturan tersebut diciptakan untuk merusak keteraturan yang ada. Jika pendapat Yunani kuno itu masih relevan, semoga setelah ketidakteraturan ini akan muncul keteraturan, atau setidaknya berawal dari saya, anda yang membaca ini perlahan mau untuk sembuh dari penyakit budaya hukum dan memberikan obatnya kepada yang lain. Sungguh, omnium rerum principia parva sunt.

0 komentar:

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes